Apa yang bisa diharapkan jika ada sepeda nganggur, menginap di Sanur, dan ada cukup waktu untuk kabur? Saya memilih ke Garuda Wisnu Kencana (GWK) meski sepeda nganggur itu sepeda gunung. Ya, meski ban pacul berdengung saat menapak aspal, namun untuk menjajal trek offroad di Bali saya mesti sedikit repot dan waktu yang belum tentu bersahabat.

Saat ditawari pilihan ke Pulau Serangan atau Garuda Wisnu Kencana, saya memilih yang terakhir. Sebelumnya seorang teman bercerita tentang tanjakan ke GWK yang bisa bikin “orgasme”. Jangan ngeres dulu hehe…. Orgasme di sini hanya untuk menggambarkan betapa senangnya kami para penyuka jalan miring jika bisa “mencumbunya”.

Soal jalan miring alias tanjakan itu begitu hebohnya sehingga membuat seorang teman keder dan urung ikut. Heran, la wong belum lihat seberapa tinggi kok sudah ciut nyali. Bukankah kalau tidak kuat mencumbu ya istirahat atau dituntun?

Ya sudah, seorang diri saya menyusuri Bypass Ngurah Rai di pagi menjelang siang hari itu. Dari Sanur Parase Plaza Hotel sudah pukul 09.00 lebih. Matahari sudah menyengat.

Menyusuri Bypass menuju Bandara tidak begitu nyaman. Selain jalan ramai, juga sedang ada penggalian pipa PAM. Mentari begitu menyengat. Pepohonan rindang belum begitu banyak. Pagi itu, hari Minggu, satu dua penggowes MTB yang sepertinya baru selesai sepedaan kusua. Saya mengejar waktu sehingga hanya basa-basi sebentar.

Ketika sedang membeli minuman tak jauh dari pertigaan ke arah Bandara, saya melihat dua sepeda touring melesat. Lengkap dengan pannier di kanan kiri boncengan. Pengendaranya bule. Mencoba mengejar ternyata tidak tersusul karena mereka sudah terlalu jauh. Lagi pula mereka belok kanan ke arah Bandara, sedangkan tujuanku lurus.

Dari informasi saat bertanya ke penjual minuman saya disarankan untuk lewat Universitas Udayana. Tanjakan tidak begitu terjal. Namun bukan soal terjal atau tidaknya, saya memang ingin melihat suasana kampus. 🙂

Memasuki gerbang kampus jalan sudah mulai terlihat menanjak. Dari elevasi sekitar 6 m dpl menuju ke 70-an mdpl. Relatif sepi jalanan. Pepohonan di bukit kapur itu mulai menampakkan fungsinya. Kegersangan mulai tertutup oleh tajuk-tajuk beranek ragam pohon.

Meski ada turunan, namun rute menunjukkan tren menanjak menuju puncak di ketinggian sekitar 99 mdpl. Ketika konsentrasi ke jalanan dan terlihat di depan ada tanjakan saya pun mempersiapkan diri mengatur kombinasi gir. Namun di sebuah pertigaan mata saya tertumbuk pada patung yang membentuk huruf “GWK”. Lah, sudah sampaikah?

Tak percaya begitu saja, saya bertanya ke satpam yang ada di pojokan jalan. “Pak, ini benar kawasan GWK yang ada patung Garuda Wisnu itu?”

“Iya. Masih ke dalam sana,” jawab Pak Satpam.

Terus terang saya tak membayangkan bahwa rute ke GWK tidak seseram yang diceritakan teman-teman. Saat masuk ke kawasan saya berpapasan dengan seorang MTB-er yang keluar kawasan. Bertegur sapa sambil teriak karena akses masuk – keluar kawasan terpisah oleh taman di tengah jalan.

Ketika di loket ternyata harus membayar Rp40.000 tanpa kejelasan sepeda boleh dibawa ke kawasan patung atau tidak saya pun urung masuk. Lagi pula waktu sudah mepet. Putar balik dan saya pun mencoba mengambil jalan yang dikatakan tanjakannya terjal. Ternyata benar juga. Tanjakan berkelak-kelok. Namun dalam kasusku ya berarti turunan!

Dalam perjalanan pulang sempat kesasar ke arah Kuta di persimpangan Simpang Siur yang sedang ada proyek terowongan.

Sebagai aktivitas selingan, gowes ke GWK cukup menarik juga. Terlebih bisa masuk ke kawasan patung sembari menenteng sepeda. Namun usahakan untuk berangkat pagi-pagi. Siapa tahu bisa dapat pemandangan matahari terbit di sepanjang perjalanan.

***

Gowes ke GWK

***

Generik

Always curious about bike and the philosophy of cycling.

View all posts

Add comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recent Comments