Setelah jeda sehari, etape selanjutnya adalah Samosir – Tarutung. Tak ada kibasan bendera karena Pak Bupati sibuk mengurusi Festival Danau Toba. Namun malam sebelumnya Bupati datang ke hotel tempat peserta menginap.

Jalur awal adalah Tuk-tuk ke Pelabuhan Nainggolan lewat Tomok. Namun karena di jalur ini ada turunan tajam dan jalan rusak maka rute dialihkan dengan memutar melewati jembatan penghubung daratan Sumatra dan Danau Toba.

Entah karena tanpa kibasan bendera atau karena tubuh masih istirahat, justru sepanjang perjalanan menuju Pelabuhan Nainggolan banyak menimbulkan korban. Pertama terjadi di sekitar km 10. Aristi terjatuh karena menabrak ban belakang Bagus yang melakukan manuver menghindar lubang.

Tak seberapa lama giliran rantai sepeda Rokhmat yang lepas. Terpaksa ganti sepeda cadangan. Di sekitar km 30an, giliran Janes yang terjatuh menabrak anjing. Kembali pergerakan jelajah tersendat.

Ketika waktu mulai mendekati jam keberangkatan feri, laju tim dipercepat sehingga rombongan kocar-kacir terbagi dalam beberapa rombongan. Jalanan rusak dan kadang ada speed trap memakan korban. Tomi terjatuh dengan luka di dekat siku.

Akhirnya jam keberangkatan feri diundur menjadi pukul 11.00. Setelah regrouping di km 60an rombongan bergerak lagi menuju Pelabuhan Nainggolan. Agak terkejut juga melihat jalan masuk Pelabuhan yang belum beraspal. Sekitar 80 km telah dilalui antara Toledo Inn ke Nainggolan.

***

Setelah menyimpan tenaga di feri selama sekitar sejam dan diberi semangat oleh Bupati Samosir, tim jelajah melanjutkan perjalanan ke Tarutung. Memasuki Muara Tapanuli Utara hawa panas langsung menyergap. Padahal dari sini jalanan menanjak dari elevasi 900an mdpl ke 1500an mdpl.

Siang terik dan merayap tanjakan halus namun panjang membuat rombongan tersebar dalam beberapa kelompok. Beberapa kali regrouping sebelum akhirnya berhenti di km 106. Nasi bungkus diturunkan sebab waktu makan siang sudah lewat. Ya, waktu sudah menunjukkan pukul 15.00.

Jalanan sebenarnya sudah menurun. Namun rombongan terpisah jarak yang jauh antara yang terdepan dan paling belakang. Alhasil nasi bungkus tadi diharapkan bisa “meredam cacing-cacing di perut yang berontak.” Makan nasi bungkus di pinggir jalan pun dijabani. Tak peduli enggak ada sendok. Cuci tangan dengan air mineral dan langsung makan dengan tangan. Dalam sekejap nasi dengan lauk ikan dan ayam pun ludes.

Nasi Bungkus Di Pinggir Jalan

Perut terisi nyatanya belum bisa menghangatkan badan saat turun. Beberapa peserta mengeluh soal dingin ini. Matahari sudah lingsir dan berada di ketinggian sekitar 1400an mdpl sementara badan relatif tidak bergerak karena jalan menurun.

Hanya sekitar 15 menit ternyata sampai ke rumah makan yang seharusnya. Toh makanan yang disajikan habis juga.

Pemandangan Tarutung

Setelah makan siang hujan mulai turun. Namun jalanan juga masih turun. Alhasil kecepatan rombongan bisa di atas 25 kpj. Beberapa tanjakan kecil membuat peserta wajib memanaskan tubuh sehabis makan. Sekitar pukul 18.00 rombongan memasuki Hotel Bali.

Jozlyn

Work hard, bike harder.

By riding a bicycle, I learn the contours of my country best, since i have to sweat up the hills and coast down them.

View all posts

Add comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recent Comments