Pedalku.com – “Touring perdana sekali seumur hidup ini, Budok.. ”

Begitu tulis Umartono Nafal Quryanto dalam chatnya via WhatsApp kepada saya, awal tahun 2017.

Saya berkawan dengannya dimulai dari hobby memotret, bukan dari hobby sepeda, sekitar tahun 2010. Kawan dekat saya, Iman dan Mas Wahyu (kakak ipar Nafal) yang menjadi lantaran pertemanan saya dengan almarhum.  Kami pun menjadi dekat dengan keluarga besar karena kawan-kawan saya itu menjadi  juru foto pada beberapa pernikahan sepupu, adik dan termasuk saya sendiri.

Saat itu, Nafal belum mulai bersepeda. Beberapa tahun kemudian, kawan-kawan fotografer saya itu mulai ramai-ramai ulin (bermain) dengan sepeda, termasuk Nafal. Saya tak pernah berkesempatan mengayuh kereta angin bersama Nafal. Namun mulai tahun 2015 awal dia mulai banyak bertanya pada saya tentang bersepeda jarak jauh seorang diri (solo touring) di luar negeri. Impian kecilnya mengunjungi Angkor Wat (Kamboja) dan Taj Mahal sudah terpenuhi. Tinggal tersisa satu impian lagi: Nepal!

Kemudian dia memang banyak bertanya soal rute bersepeda di Asia Tenggara. Begitu juga berbagai tips bersepeda jarak jauh atau long distance cycling. Namun, saya termasuk orang yang lebih suka memberi pancing dari pada ikan. Saya juga ingin membiasakan Nafal membiasakan diri sendiri dari pancing-pancing yang saya bagi untuknya.

Nafal…. Orang yg bertemu dengannya pasti langsung terkesan dengan binar mata kekanakan saat dia berbicara tentang impian-impiannya. Tak jauh beda dengan saya, pemuda berusia 28 tahun itu mempunyai impian yang  melebihi kemampuannya. Maka kerja kerasnya mengumpulkan dana selama 3 tahun untuk perjalanan sangat patut dicontoh.

Pernah dia mengeluh pada saya bahwa waktu keberangkatannya ternyata meleset dari rencana pertama berangkat di bulan Oktober 2016. Dana yang diperlukan untuk perjalanan itu belum cukup berkumpul. Saya besarkan hatinya “Semua indah pada saatnya Fal. Kan apapun kalau Tuhan bilang jadi pasti jadi. Kalau enggak ya enggak jadi. Ikuti saja alurnya, jangan sedih,” kata saya, suatu saat. Saat itu tak terlintas sedikitpun di benak saya,  memang waktu almarhum untuk menuju ajalnya belumlah tiba.

Saya tak menyangka setitik pun, waktunya tiba saat akhirnya tiba di bulan Mei 2017, tepat di hari kelahirannya, Nafal berangkat untuk mewujudkan impian masa kecilnya. Dia meraih mimpinya dengan bersepeda seorang diri untuk  mengunjungi beberapa keajaiban dunia. Dia pun bersepeda untuk menggapai semua itu, dan waktu terus berjalan dalam hitungan bulan hingga Nafal berpelukan dengan ajal kehidupannya.

Di sepanjang pengembaraannya, entah mengapa saya melihat kebahagiaan yang dalam di tiap postingan kegiatan hariannya. Pemuda ini, 1.000 persen telah memenangkan hidup dengan tertatih dan akhirnya meraih hampir seluruh “bucket list ” masa SMP nya itu.

Gurat bahagia selalu tersirat di wajahnya, bahkan pada saat lelah. Dia kerap menghubungi saya untuk bertanya atau sekedar menyapa dan berbagi kisah hari-hari pengembaraannya. Saya cukup bernostalgia dengan kisah-kisahnya yang memukau. Sebagai pesepeda jarak jauh, saya pun turut merasakan seakan saya turut bersepeda bersamanya di jalan-jalan yang pernah saya lalui sendiri.

Bulan ketujuh

Bulan November 2017 adalah masuk bulan ketujuh Nafal berkelana jauh dari Tanah Airnya. Di tanggal 26 November, dia mengunggah video ucapan ulang tahun bagi saya dari tepi anak Sungai Gangga, India. Masih lengkap dengan topi seragam SD-nya yang dia kisahkan sebagai refleksi cinta Tanah Air serta cerminan anak masa depan Indonesia dalam menggapai mimpi.

Demi membaca lokasi saat video itu diunggah, Uttarakhand, saya membathin, belum pernah saya baca nama daerah ini pada rute yang dibaginya kepada saya beberapa hari kemarin. Apa yang dituju dan dicarinya di daerah tersebut? Sebab saat memeriksa kembali rute itu via Google Map dan Google Earth, lokasi tersebut melambung sekitar 300 km menjauhi perbatasan India dengan Nepal baik Bhimdatta / Mahendranagar ( 670 km dari Jaipur lokasi start almarhum di India), Nepalgujn ( 720 km dari Jaipur) dan Sonauli ( 890 km dari Jaipur dan merupakan perbatasan terbesar).

Mas Paimo pun membagi keheranannya. Pesepeda solo turing asal Bandung itu ternyata pernah memberi Nafal rute yang pernah dilewatinya saat berkelana ke daerah yang sama. Tetapi ternyata, almarhum melewati rute yang berbeda, semua berubah. Entahlah, mungkin ini yang disebut takdir ajal yang tidak mungkin dapat dihindari, dibelokkan dan diubah, tak bisa ditunda ataupun dipercepat. Nafar menuju takdir itu. Di luar logika, Nafal mendatangi akhir hidupnya yang sudah ditakdirkan sejak dalam kandungan ibunda.

Nafal Quryanto, pedalis asal Bogor, Jawa Barat, itu terhenti dan meninggal saat berkelana menembus perbatasan Nepal. Nafal diduga mengalami kecelakaan saat melintas di Uttarakhand, India, yang berbatasan dengan Nepal.

Tragis, sedih, miris, semua rasa buruk berkumpul jadi satu menohok dada saya saat mendengar kabar buruk tersebut. Air mata mengalir tak terbendung, hingga setelah itu saya tak mampu memejam mata. Namun demi melihat lagi satu persatu foto-fotonya yang bergembira,  unggahannya yang penuh dengan semangat, kalimat-kalimat curahan hati jiwa serta pikirnya… Saya sontak merasa, pemuda ini mangkat dengan bahagia dengan kepuasan pada kehidupan yang telah dirangkainya selama 28 tahun ke belakang.

Apalagi yang kita inginkan, selain maut yg terasa indah… ?

Teringat curahan jiwa almarhum Soe Hok Gie pada saat hidupnya dan juga mangkat muda : “Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil, orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di ranjang  !!”

Saya merasa, Nafal merasakan semua kegelisahan Hok Gie dan perjalanan bersepeda seorang diri ini memang ditempuhnya sebagai penawar jiwa gelisahnya hingga ajal yg sudah disiapkan Tuhan didatanginya dengan penuh gembira.

Tak usah lagi gelisah, kawan… Sebab Tuhan sudah memelukmu hangat, sehangat buaianmu dalam kandung ibunda. Dan aku kawanmu saat ini tersenyum sambil berbisik, “Nikmatilah perjalananmu dalam keabadian, karena kau salah satu manusia yang beruntung telah dilahirkan untuk mati muda dengan bahagia…”

Salam berjuta kayuhan,

Bogor, Desember 2017

Aristi Prajwalita Madjid,

Catatan Redaksi:

Aristi Prajwalita adalah pesepeda turing jarak jauh. Pedalis yang dikenal sebagai dokter itu antara lain telah menjelajahi jalur Hanoi, Vietnam, menuju Beijing, Tiongkok serta sejumlah negara di Benua Eropa seperti  Belanda, Prancis, Italia, dan Belgia.

 

 

"Abah" Agus Hermawan

Lebih dikenal dengan panggilan Abah USH, Agus Hermawan (++ Follow Me at Instagram - @abah_ush) yang lama menjadi jurnalis Kompas (1989-2019) adalah seorang penggiat luar ruang. Kesukannya mendaki gunung sejak muda, menjadikan olah tubuh sebagai kebutuhannya. Bersepeda dan lari menjadi pilihan kesenangannya mengisi hari. Sejumlah maraton sudah diselesaikannya, termasuk world majors marathon (WMM) Tokyo Marathon, Berlin Marathon dan Chicago Marathon.

View all posts

Add comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recent Comments