pedalku.com – “Gak usah bayar,” begitu kata ibu-ibu yang duduk di teras rumahnya ketika seorang pelari ingin mengganti teh manis hanget dan camilan yang ia makan.

Karena ibu itu tetap menolak, dan malah menawari kalau mau silakan membawa camilan, pelari tadi pun ambil satu camilan dan kemudian berucap terima kasih sembari berlari lagi.

“Tuhan yang membalas kebaikan Ibu,” katanya.

Keramahan penduduk menjadi nilai plus Borobudur Marathon (BorMar). Selain sambutan dan atraksi berbagai kesenian di seputaran kawasan Borobudur. Ragam atraksi kesenian itu tak lepas dari kawasan ini yang masuk dalam kawasan Komunitas Lima Gunung (Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh). Pembentukan komunitas itu dirintis oleh budayawan Magelang, Sutanto Mendut. Ia menggalang pemberdayaan berbagai kelompok kesenian dan masyarakat dusun-dusun di kawasan yang dikelilingi lima gunung tersebut.

Alhasil, sambutan kesenian tadi benar-benar memberi gairah baru bagi para pelari. Hanya saja para pelari harus ingat dengan denyut jantungnya. Seorang pelari bercerita betapa ia kaget saat jam tangan pintarnya bergetar-getar usai ia ikut “njathil” karena euforia dengan tarian yang dikenalnya di masa remaja itu. Getar jam itu pertanda denyut jantungnya melewati ambang batas denyut jantung maksimal dia.

Tak hanya keramahan, keindahan bentang alam pun banyak mendapat pujian para pelari. Sawah, sungai, pekarangan, pohon bambu, rumah-rumah tanpa pagar kaku. “Kalau pensiun kayaknya enak tinggal di daerah seperti ini,” kata pelari yang kebetulan berbareng dengan pedalku.com.

Penduduk pun menyambut dan memahami ulah beberapa pelari yang  sempat pedalku.com lihat dengan foto-foto di sekitar persawahan. “Wong kuto ra tau ngerti sawah yo ngono kui senenge,” ujar seorang penduduk sambil menawarkan teh manis hangat.

Berlari
Berlari melintasi kebun penduduk.

***

Borobudur Marathon 2018 ini merupakan kali kedua dikelola oleh Kompas bersama Pemda Jawa Tengah dan Bank Jateng. Jika pada kali pertama mengusung jargon Reborn Harmony, maka pada 2018 ini jargonnya adalah Raising Harmony (Tumbuh dalam Keselarasan). Melalui tema tersebut, niat yang telah lahir pada 2017 diharapkan dapat tumbuh dalam keselarasan menjadi sebuah keinginan dan usaha untuk melakukan aksi nyata (Jumbuhing Karep Lan Daya).

Borobudur Marathon memiliki tiga pilar utama yaitu Raising Harmony (Tumbuh dalam Keselarasan), Cultural Immersion (Keterlibatan Budaya Lokal), dan Sport Tourism (Olahraga Wisata). 

Ketiga pilar itu menjadikan BorMar sebagai ajang lari yang tak hanya membawa pelari dari titik start menuju titik finish. Namun juga memberikan pengalaman batin yang tak akan pudar seiring waktu. Bukan lelah yang akan diingat para pelari, tapi keharmonisan antara langkah kaki dan budaya serta keramahan penduduk setempat.

An awesome experience. Running with a beautiful scenery and hospitality from the people is something you cannot missed.” Begitu komentar Anis Ardianti di Page Borobudur Marathon.

Lomba kali ini juga dimeriahkan oleh suara deru helikopter yang mengudara berkeliling di atas langit. Helikopter ini sempat dikira membawa tamu penting yang akan pergi lagi usai pelepasan pelari kategori Full Marathon.

“Keren! Saya sempat melambaikan tangan ketika melihat ada kamera nongol dari helikopter,” kata seorang peserta kepada temannya usai menyelesaikan lari FM-nya.

Ragam gaya juga ditampilkan pelari ketika dua buah drone mengudara di atas persawahan yang terbelah jalan raya tempat ribuan pelari melintasinya. Dua “pilot” drone itu tak terusik oleh aksi pelari karena mereka mendekam di tengah sawah agak jauh dari jalan raya yang membelah sawah tadi.

Cuaca mendung di awal lomba mau dimulai sempat dikhawatirkan akan menjadi hujan seperti tahun lalu. Untung hanya gerimis yang akhirnya menyapa pelari. Sepanjang lintasan cuaca begitu bersahabat.

Meski begitu panitia menggelar WS lebih banyak dari sebelumnya. Terutama di kategori FM, yang pada sekitar pertengahan rute menggeser WS tak lagi setiap 2,5 km tapi per 2 km. Kru WS dengan sigap menyorongkan gelas-gelas berlabel Borobudur Marathon yang berisi air mineral dan isotonik.

“Kali ini minumannya dingin sampai akhir! Aku begitu suka nih!” celetuk peserta cewek selepas menerima kalungan medali dan kaos penamat.

Ada perubahan dalam tempat menampung gelas air ini. Kali ini menggunakan plastik yang menampung lebih banyak dibandingkan ember seperti yang digunakan tahun lalu. Gelas yang bercecer karena pelari membuangnya tak di tempat sampah segera dipungut petugas untuk dimasukkan ke keranjang sampah.

Buah juga berlimpah. Ada semangka dan jeruk. Juga dingin.

Oya, BorMar kali ini juga memperkenalkan istilah blue line. Ini adalah garis untuk memandu pelari marathon agar dapat mencapai garis finish secara lebih cepat. Meski di beberapa tempat ada yang hilang karena tertutup aspal yang baru penutup lubang.

Tak hanya sebagai pemandu, “Saya pakai patokan blue line buat lari-jalan ketika sudah kecapekan di sekitar kilometer 35-an. Jadi ketika menginjak titik biru saya berhenti berlari dan berjalan sampai garis biru berikutnya. Membantu saya hingga bisa finish.” Begitu cerita seorang pelari yang mengambil kategori FM.

Blue line
Terobosan baru di Bormar kali ini: garis biru!

***

Di balik segala kemeriahan dan keriangan para pelari, kabar duka kembali mewarnai lomba lari. Firman Aswani Anash (23) meninggal dunia saat mengikuti lomba ini. Pemuda asal Kabupaten Banyumas itu merupakan peserta kategori FM.

Project Leader Borobudur Marathon 2018 Aswito Zainul, seperti dikutip Tribun Manado, mengatakan bahwa  Firman tiba-tiba pingsan sesaat sebelum memasuki garis finish di Taman Lumbini Komplek Taman Wisata Candi Borobudur Magelang. “Dia pingsan sekitar 3-5 meter sebelum finish,” ujarnya.

Duka ini menambah daftar panjang peserta yang meninggal dalam lomba lari. Sebelumnya, Arief Hartani (55) juga meninggal saat ikut lomba lari Electric Jakarta Marathon pada 28/10/2018. Arief yang ikut kategori 5K ini tiba-tiba jatuh di kilometer 3.

Sekitar sebulan sebelumnya, Denny Handoyo (50), seorang peserta Maybank Bali Marathon 2018 meninggal dunia menjelang garis finish. Pelari asal Jakarta Selatan tersebut terjatuh sekitar 100 meter sebelum garis finish.

Kejadian yang beruntun ini semoga menyadarkan para pelari untuk tidak menganggap enteng olahraga lari (terutama kategori FM).

Terlepas dari duka yang menimpa Firman, Borobudur Marathon memang sebuah harmoni yang ngangeni. Tak jemu untuk melakoninya lagi. “Saya menyesal tidak ikut tahun kemarin gara-gara trauma dengan kejadian sebelumnya. Kalau begini kan saya akan ikut lagi tahun depan,” ujar seorang pelari dari Jakarta.

This is one of the best running event I have ever attended. Starting from the online registration, race pack collection up to the finish line, everything was very smooth. The track was superb with stunning views, excellent cheering stations and plenty of water stations and it is very much clear with nothing blocking the path of runners.
I am absolutely impressed and will surely be back next year.

(Tedy Wr. di Page Borobudur Marathon.)

Bagaimana dengan pedalis semua?

(Foto-foto: Page Borobudur Marathon)

GuSSur

Menghidupi setiap gerak dan mensyukuri setiap jejak.

View all posts

Add comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recent Comments