pedalku.com – Kembali, gelaran Borobudur Marathon 2019 powered by Bank Jateng diselenggarakan di kawasan Candi Borobudur 17 November 2019. Masih dengan jargon “Synergy & Harmony, penyelenggaraan ketiga ini mencoba mengarah ke level dunia. Beberapa perubahan dilakukan, salah satunya dengan menerapkan sistem COP selain yng sudah umum diketahui COT.

COP adalah cut off point. Berbeda dengan CoT yang ditentukan di garis akhir, COP ditentukan di point-point tertentu. Untuk kategori HM, panitia Borobudur Marathon (BorMar)  menentukan KM 15 sebagai COP dengan batasan waktu 3 jam. COT kategori HM adalah 4 jam). Sementara untuk kategori FM, COP ditentukan di dua tempat: KM 21 (4 jam) dan KM 35 (6 jam). COT kategori FM adalah 7 jam.

Penerapan sistem COP ini menurut panitia sejlan dengan jargon sinergi dan harmoni tadi. Kesuksesan lomba ini tak lepas dari partisipasi masyarakat juga. Sehingga jika jalan ditutup terlalu lama akan merusak harmoni yang sudah tersinergikan. Jadi, ketika peserta sudah melewati titik tertentu, maka masyarakat bisa menggunakan jalan itu dengan bebas lagi.

Adanya COP itu juga akan menyadarkan pelari bahwa persiapannya kurang dan tidak akan memaksa tubuhnya untuk terus berlari.

“Tapi nyesek nih. Kurang semenit saja kena COP nih!” kata seorang pelari yang terganjal di COP KM 35. Titik ini memang agak ngehek. Bagaimana tidak. Setelah rute menurun dan ketemu jembatan, otomatis jalanan lantas nanjak kembali. Nah, sekitar 200 m dari awal tanjakan ini, COP KM35 dengan gagah menanti korban.

Beruntung mereka diangkut ke titik finish menggunakan kendaraan yang nyaman. “Coba kalau pakai truk misalnya, duh … tambah malu kayaknya,” timpal peserta lain yang juga terkena COP KM35.

***

Selain COP, tahun ini cuaca panas (mencapai 39 derajat Celsius) dan lembab (mencapai 80 persen) menjadi tantangan lain di Bormar. Sebelum hari H, lewat media, panitia sudah mengumumkan akan ancaman cuaca panas ini.

Apakah cuaca panas ini yang menjadi penyebab beredar kabar soal habisnya air mineral di beberapa WS, khususnya WS-WS akhir? Namun beberapa pelari kelas menengah yang selesai  kategori FM di sekitaran waktu 5 jam masih merasakan kelengkapan WS. Baik mineral atau isotonik.

Namun, jika melihat hasil akhir, pelari FM yang finish sub 5 tercatat 400-an pelari. Sementara yang finish di bawah COT ada 1.681 pelari. Jadi masih banyak pelari yang di lintasan sementara hari semakin terik.

Saat pelepasan kategori FM mendung cukup memberikan harapan akan hawa yang adem. Nyatanya, pas pelepasan kategori 10K di pukul 06.00, mendung pun seakan terbawa aura kategori FM dan HM berlari menembus pagi. Entah pergi ke mana.

***

Yang menjadi catatan lain adalah Coral atau gelang perkiraan waktu finish. Banyak yang merasa bingung karena memperoleh gelang ini. Seorang pelari virgin FM memperoleh coral untuk kategori HM. Sementara ada pelari kategori FM lainnya yang memperoleh coral sub 4:00 hours kebingungan. “Dari mana ya mereka menentukannya? Saya FM biasa di atas 5 jam kok dikasih coral di bawah 4 jam.”

Penggunaan coral dimulai tahun lalu. Sistem pengandangan ini untuk membantu pelari  agar tak membuang banyak waktu ketika melintasi gerbang start. Dengan sistem pengandangan, maka mereka yang memiliki kecepatan relatif sama bisa melesat ke depan mencetak waktu terbaiknya.

Soalnya, tanpa pengandangan, kecepatan pelari menjadi acak di titik start. Alhasil, dengan jumlah yang ribuan, mereka yang mau mencetak waktu terbaik sering terhambat pelari yang lebih lambat namun bisa memperoleh barisan di depan. Rata-rata, untuk mencapai garis start dari barisan belakang butuh waktu 3 menit. Sementara untuk lepas dari kilometer awal, pace bisa di angka 10. Bayangkan, jika pelari yang pace rata-ratanya 7 untuk FM-nya, setidaknya ia sudah kehilangan beberapa menit antara gun time dan chip time.

Tapi kemarin sepertinya sistem koral tidak berjalan maksimal.

Selebihnya adalah suasana lomba yang sangat meriah. Jalur steril, sambutan penduduk antusias, pengerahan tim penyemangat baik dari komunitas kesenian atau anak-anak sekolah begitu menaikkan adrenalin.

Seperti di sebuah sekolah di sekitar km 14 kategori FM. Anak-anak sekolah dikerahkan untuk membikin paduan suara dengan membangun sebuah tempat berdiri berundak-undak di halaman sekolah mereka. Dengan semangat mereka menyanyikan lagu-lagu pop yang riang gembira.

Antrian pengendara motor atau mobil yang tak sibuk membunyikan klakson karena merasa terhambat lajunya membuat banyak pelari mengacungkan jempol dan berucap terima kasih. Bayangkan kalau itu terjadi di Jakarta.

Sementara di sekitar km 30-an, sebuah rumah menyediakan teh manis anget dan rebus-rebusan kayak ubi dan juga pisang. Tidak mengharapkan uang. Ketika seorang peserta mengasih uang malah ditolak.

***

Sedikit catatan waktu menjelang finish. Banyak komunitas yang menyambut teman pelarinya dan mengiringinya sampai menutup lebar jalan. Kasihan pelari yang tak disambut komunitas atau memang tak gabung dengan komunitas lari mana pun.

Soal menutup jalan ini juga perlu ditegaskan kepada pacer untuk bisa mengatur rombongan yang menyertainya. Soalnya, dengan pacer bertiga sejajar saja sudah menutup jalan ini ditambah peserta yang mencoba mengikuti pacer tapi di sampingnya bergerombol. Sampai seorang pelari berteriak-teriak untuk tidak menutup jalan.

Akan lebih bagus jika pacer berjejer dua dan mereka yang mengikutinya di belakang.

Tak ada gading tak retak, tak ada lomba yang sempurna. Namun selalu ada celah untuk berbuat lebih baik.

Ayo BorMar, kamu bisa!

GuSSur

Menghidupi setiap gerak dan mensyukuri setiap jejak.

View all posts

Add comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recent Comments